Tag: Awardee

Muhammad Ridho Aulia, Awardee IISMA 2023 Mahasiswa Prodi TRKJ-FTI UBH Berbagi Pengalaman Menikmati Kemajuan Teknologi di Kota Coventry, Inggris

Sebuah cerita datang dari salah seorang mahasiswa Universitas Bung Hatta yang mendapatkan kesempatan berkuliah di luar negeri, Inggris. Ia membagikan pengalamannya dalam menikmati kemajuan teknologi di salah satu kota di negara ini, tempat ia kuliah.

Seperti yang kita semua tahu, bahwa Negara di benua Eropa yang dikategorikan sebagai negara maju ini menerapkan kemajuan teknologi yang sangat mempengaruhi aktivitas penduduk di negaranya. Hal ini membuat berbagai macam hal menjadi lebih efisien. Ridho, seperti yang dia biasa dipanggil tentunya juga ikut merasakan manfaat dari kemajuan teknologi tersebut.

Salah satu yg Ridho rasakan adalah penerapan sistem otomatisasi di negara ini. “Sistem pencahayaan pada gedung-gedung dan fasilitas publik terutama kampus, menerapkan sistem otomatisasi untuk hidup dan mati. Sistem otomatisasi ini juga tentunya melibatkan sensor. Contoh penerapannya adalah lampu hidup ketika ada orang di lokasi tersebut, atau hidup pada jam tertentu. Dan lampu mati jika orang tersebut tidak di lokasi dalam waktu yang lama. Sistem ini juga berlaku pada pintu akses keluar masuk, yang terbuka dan tertutup otomatis, walau masih terdapat juga pintu putar konvensional”.

Selain itu terdapat dampak kemajuan teknologi lainnya yang ia rasakan di negara ini, yaitu pada sistem pembayaran. Sistem pembayaran di negara ini membuatnya tidak perlu membawa uang money yang dapat membuat dompetnya tebal. Ia menyebut bahwa “cukup sedikit uang money untuk kondisi tertentu dan sisanya ada di kartu ATM, karena kartu ATM di sini sifatnya sudah contactless dan tidak perlu juga gesek”.

Di Indonesia, sistem pembayaran cashless ini sebenarnya juga sudah mulai berlaku. Namun masih terbatas pada scan QR pada handphone atau gesek kartu dan masukkan PIN. Sedangkan di sini, Ridho cukup “menyenggol” kartunya ke mesin pembayaran dan transaksi berhasil. Tentunya hal ini dapat lebih mempersingkat waktu.

“Sistem cashless ini juga di dukung oleh sistem self-checkout pada toko-toko groceries yang sangat dapat mengurangi jumlah antrean.

Cukup anda scan QR code barang belanjaan anda pada kemasannya dan biarkan mesin menghitungnya. Serta anda juga bisa scan kartu member anda untuk mendapatkan diskon pada harga akhir sebelum pembayaran” ungkap Ridho.

Membahas kemajuan teknologi tentunya tak jauh dengan pembahasan kualitas web yang perkembangannya sangat pesat di negara ini. Penerapan 5G yang sudah umum, serta terdapat banyak fasilitas publik yang menyediakan wifi merupakan sesuatu yang sangat berguna untuk kebutuhan mahasiwa seperti Ridho.

Dalam pernyataanya, Ridho menyebut bahwa untuk skala pengguna yang banyak, kecepatan wifi rata-rata di atas 10 Mbps bahkan bisa dibilang 10 Mbps sudah paling lambat dan itu hanya ketika dalam jumlah pengguna yang banyak. Ia juga menambahkan bahwa terdapat juga fitur voice over wifi atau wifi name yang sangat berguna ketika berada dalam bangunan berfasilitas wifi yang dimana struktur bangunan tersebut memblokir sinyal dari supplier kartu sim, jadi tetap bisa melakukan panggilan non web (atau kadang disebut telfon pulsa) melalui sinyal wifi. Banyak bangunan publik juga menyediakan colokan web kabel (RJ-45) untuk kecepatan dan stabilitas yang maksimal.

Namun begitu, kemajuan teknologi yang membuat berbagai macam hal menjadi lebih efisien belum tentu itu efektif. Seperti yang Ridho juga rasakan pada sistem pencahayaan otomatis yang menggunakan sensor. Jika ia tidak berada dalam jangkauan sensor, namun ia tetap di dalam ruangan tersebut lampu akan mati dalam jangka waktu tertentu dan itu kadang sampai membuat ia kaget. Jadi ia harus selalu memosisikan dirinya dalam jangkauan sensor agar lampu tetap hidup.

Fasilitas koneksi wifi publik walau memberikan koneksi web yang kencang, namun Ridho juga khawatir dapat memberikan celah keamanan yang cukup berpengaruh karena diakses secara bersamaan. Maka dari itu, dalam pernyataannya juga Ridho mengingatkan agar jangan lakukan hal-hal yang dapat memunculkan knowledge sensitif seperti transaksi keuangan menggunakan wifi publik, atau pembobol dapat mengakses knowledge sensitif anda.

Ada satu hal yang sangat berbeda dan tidak pernah Ridho temui di Indonesia adalah sistem switch nomor telefon jika ganti supplier kartu sim. Ridho menganalogikannya pada supplier kartu sim di Indonesia, “jadi misalnya anda pengguna Indosat mau ganti ke Telkomsel, anda bisa pindahkan nomor Indosat tersebut untuk digunakan di kartu Telkomsel. Hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan kode PAC (Porting Authorisation Code) dari supplier lama anda dan memasukkan nomor teleponnya di supplier baru. Tentu sebelumnya anda harus menghubungi PAC dan meminta kodenya melalui supplier lama anda”.

Sistem ini tentunya sangat game-changer dan Ridho berharap hal ini juga segera diimplementasikan ke Indonesia “mengingat nomor telepon adalah identitas pribadi kita yang digunakan dalam berbagai macam layanan. Nomor telepon juga cara agar terhubung dengan orang-orang yang dikenal, apalagi jika nomor telepon sudah lama maka orang-orang seperti relasi atau kenalan lama bisa kembali terhubung dengan anda” tambah Ridho.

Mengenal Pupil Union, Organisasi Mahasiswa di Coventry College, Inggris melalui Muhammad Ridho Aulia, Mahasiswa Prodi TRKJ UBH Selaku Awardee IISMA 2023

DI dunia pendidikan tinggi, organisasi mahasiswa seringkali menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk mengembangkan diri dan berkontribusi. Dalam pengertiannya, organisasi adalah kumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama/tertentu. Terdapat banyak organisasi yang dinaungi oleh mahasiswa, yang paling banyak orang tahu adalah BEM. Hal ini berbeda dengan kampus di negara-negara UK terkhusus Coventry College, mereka mengenal yang namanya College students Union.

Selama di Coventry College, Muhammad Ridho Aulia, mahasiswa Teknologi Rekayasa Komputer dan Jaringan Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta selaku awardee IISMA (Indonesian Worldwide Pupil Mobility Award) dari Universitas Bung Hatta yang dibimbing oleh Prof. Benny Tjahjono selaku Professor of Sustainability and Provide Chain Administration, Centre for Enterprise in Society (CBiS) mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih jauh tentang organisasi College students Union ini.

Berbeda dengan organisasi mahasiswa di Indonesia yang biasanya merepresentasikan sistem pemerintahan di negara Indonesia dan terdapat sistem himpunan yang terbatas pada ruang lingkup tertentu, College students’ Union di Coventry College beroperasi sebagai entitas independen yang bekerja sama dengan universitas, yang menggabungkan berbagai elemen dari kehidupan mahasiswa, termasuk himpunan mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa, dan berbagai cabang olahraga, menjadi satu kesatuan sehingga dapat dinikmati oleh semua mahasiswa.

Bahkan untuk memberi kebebasan berekspresi, di bawah naungan College students’ Union mahasiswa bisa mendirikan himpunan/komunitasnya sendiri jika tidak terdapat dari pilihan yang ada. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya pilihan society yang ada di web site nya.

“Saya sangat terkesan dengan sistem organisasi mahasiswa di sini. Semua dimasukkan dalam satu wadah yaitu College students Union, mulai dari himpunan mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa, hingga cabang-cabang olahraga. Jadi semua mahasiswa bisa merasakan manfaatnya. Hal ini bisa saja memungkinkan bagi saya sebagai mahasiswa teknik ikut society biomedis ” ujar Ridho.

Namun, yang membuat College students’ Union ini benar-benar unik adalah fakta bahwa ini bukan hanya organisasi, tetapi juga bisa menjadi profesi. Dengan gaji yang ditawarkan untuk berbagai posisi, College students’ Union ini berdiri sebagai organisasi yang memberikan lebih dari sekedar pengalaman.

“Ini artinya College students Union bukan sekadar organisasi, tapi bisa menjadi profesi. Kita bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan manajemen sambil mendapat penghasilan,” imbuhnya.

Selain itu, Ridho juga mengapresiasi independensi dan profesionalisme College students’ Union. Organisasi ini memiliki sistem penggajian untuk orang-orang yang menjalankannya, walau sumber dananya tetap dari kampus (atas kerja sama). Dan meskipun bekerja sama dengan pihak kampus, namun beberapa posisi penting dipegang oleh tenaga profesional yang tak terikat oleh kampus (bukan alumni atau mahasiswa yang pernah kuliah di Coventry College). Siapa saja bisa mendaftar, karena ini juga lowongan kerja.

Organisasi ini juga mengadakan occasion, workshop dan peluang-peluang lainnya untuk terhubung dengan pelajar dan mahasiswa lainnya. Hal ini dirasakan langsung oleh Ridho yang dapat terhubung dengan orang-orang dari negara dan budaya yang berbeda.

Pengalaman ini tentunya tidak hanya memperkaya pengetahuan dan keterampilan Ridho, tetapi juga membuka cakrawala baru tentang bagaimana organisasi mahasiswa bisa beroperasi dan memberikan manfaat kepada anggotanya.

Dengan sistem organisasi yang independen, common, dan all-in-one, serta memberikan gaji, Ridho membawa pulang sebuah pertanyaan: Apakah mannequin seperti ini layak diterapkan di kampus-kampus Indonesia?.

Sumber Tulisan : Prof. Benny Tjahjono selaku Professor of Sustainability and Provide Chain Administration, Centre for Enterprise in Society (CBiS)